Peta Kuno Buatan Nusantara


Hingga kini, kita beranggapan bahwa peta—kenampakan geografis sebuah wilayah baik itu kota, provinsi, pulau, lautan, negara, maupun benua—merupakan buah karya ilmuwan Barat atau Timur Tengah. Penelusuran sejarah terhadap pembuatan peta pertama kali bisa dilacak pada seorang sejarawan Yunani Kuno, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 SM (484 – 425 SM). Herodotus membuat gambar – gambar dan peta dalam rangka membuat laporan perjalanannya selama menjelajahi benua dan samudra. Kemudian, pada abad ke – 2 M, seorang ahli georgafi sekaligus astronom geosentris bernama Ptolomeus (90 – 168 M) juga membuat peta. Peta karya Ptolomeus berupa peta klasik di mana letak – letak samudra dan benuanya sudah tidak sesuai dengan peta foto satelit.
Peta buatan Ptolomeus yang direpro kembali pada abad ke-15 M
Sumber: ttp://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Ptolemy_World_Map.jpg
 
Pada abad pertengahan, Muhammad al-Idrisi (1100 – 1165/6) cendikiawan dari Murabitu atau Moor di Afrika Utara, membuat peta dunia, yang termasuk peta tertua dalam khazanah peradaban Islam. Selanjutnya, perkembangan teknik pembuatan peta terjadi pada abad ke – 14 dan mengalami kemajuannya pada masa awal koloniasasi pada abad ke – 16. Sejarah umum mengabarkan bahwa peta – dunia yang lebih sempurna (mendekati citra hasil foto satelit) pertama kali dibuat oleh Gerhard Kremer (1512 – 1594), yang menggunakan peralatan dengan alat Proyeksi Mercator. Ada pula yang menyatakan bahwa peta – dunia pertama kalinya dibuat pada 1513 M oleh Piri Reis, seorang pelaut Muslim berdarah Arab – Turki, yang dibuat di atas sepotong kulit rusa berukuran 90 x 65 cm. Peta tersebut dibuat Reis dari penyatuan beberapa peta yang dibuat oleh para pelancong sebelumnya dari berbagai negara. Reis menyebutkan ada 34 sumber yang berbeda dijadikan acuan oleh dirinya: sebanyak 20 peta dari zaman Alexander, 8 peta karya ahli geografi Muslim sebelumnya, 4 peta dari Portugis, dan 1 peta dari Columbus.
Lalu kita bertanya: apakah dulu orang-orang Nusantara pun telah mampu membuat peta? Kalimat “nenek moyangku seorang pelaut” dalam sebuah lagu nasional memberitahu kita bahwa orang – orang Nusantara adalah pelaut ulung sejak dulu. Yang menjadi pertanyaan: apakah mereka hanya pelaut yang hanya berpegang pada ilmu perbintangan tanpa disertai alat – alat navigasi pendukung lain untuk berlayar seperti peta dan kompas?
Lombard menulis bahwa Kepulauan Hindia tak syak lagi telah mengenal pemakaian peta sebelum kedatangan orang – orang Eropa. Namun sayang, tak satu pun peta periode ini tersimpan hingga kini. Berita pertama yang menginformasikan adanya peta made in Jawa yang digunakan di Jawa adalah kronik Yuanshi atau Sejarah Yuan (Bab 210) yang ditulis pada 1370 M pada masa Dinasti Ming. Kitab ini menjelaskan bahwa ketika ekspedisi Kubilai Khan tahun 1292 – 3 M dilancarkan ke Jawa (Singhasari maksudnya) dan mengalami kegagalan akibat siasat Raden Wijaya dan kawan – kawan, pasukan Mongol itu kembali ke negerinya dengan membawa “sebuah peta negeri itu dan sebuah daftar penduduknya”. Ada kemungkinan besar yang masuk akal, bahwa peta itu, juga daftar penduduknya itu, didapat dari kearsipan Jawa (Lombard, 2008: 205). Kita kini tak tahu, apakah “peta dan daftar penduduk” dari Jawa pada abad ke – 13 itu masih terawat hingga sekarang di kearsipan Cina atau Mongol atau hilang entah ke mana.
Berita mengenai peta buatan Nusantara ini baru tercatat kembali tiga abad kemudian, pada abad ke – 16 M. Kabar ini didapat dari kesaksian Francisco de Varthema dan Alfonso de Albuquerque, keduanya Portugis. Varthema, yang mengaku menyebarang kira – kira pada 1505 dari Borneo (Kalimantan) ke Jawa dengan sebuah kapal pribumi setempat, menegaskan bahwa saat itu ia melihat mualim memakai kompas dan sebuah peta “yang penuh dengan garis – garis yang dilukiskan untuk menunjukkan arah angin, dengan cara yang sama seperti yang kami pakai sendiri”. Meski Lombard menyebutkan laporan Varthema “selalu harus agak diragukan” namun setidaknya catatannya mengungkapkan bahwa peta yang digunakan pelaut pribumi pada masa itu tak jauh berbeda dengan peta – peta yang digunakan orang Portugis dan Eropa saat melaut.
Ada pun kesaksian Albuquerque, panglima koloni Portugis di Goa (India) dan Malaka itu, disebutkan Lombard, jauh lebih teliti. Dalam sepucuk surat bertanggal 1 April 1512 Albuquerque menyebutkan sebuah peta yang dikirimnya kepada sang Raja Portugal, yang digambar oleh ahli peta Francisco Rodrigues dan peta itu “sesuai dengan peta besar seorang mualim Jawa” (que se tirou da gramde carta dum piloto de Java). Peta itu sebelumnya telah Albuquerque kirim ke Portugal, namun hilang ketika kapal Frol de la Mar karam. Mengenai peta besar itu Albuquerque sendiri mengatakan tak pernah melihatnya yang lebih bagus pada zaman itu, dan mencakup “Tanjung Harapan, Portugal, Brasilia (yang pasti ditambahkan Rodrigues), maupun “Laut Merah, Teluk Parsi, kepulauan cengkeh, pelayaran – pelayaran orang Cina dan orang Gore (pedagang Ryukyu [Jepang]), bersama rute – rute perjalanan mereka dan daerah pedalamannya … tempat adanya tambang emas, pulau – pulau Jawa dan Banda, negeri Raja Siam …” Keterangan – keterangan yang ditulis dalam bahasa Jawa di atas peta yang asli, telah diterjemahkan dengan bantuan seorang juru bahasa. Sayang, kini kita tak bisa menyaksikan peta yang dibuat ulang oleh Rodrigues dari buatan orang Jawa itu, karena diberitakan karam bersama kapal pembawanya. Tak jelas, apakah Rodrigues membeli atau meminta peta itu dari pelaut pribumi—atau mungkin ia dikasih secara cuma-Cuma—untuk kemudian menyalinnya?
Mengenai kehebatan para pelaut Nusantara dalam merancang peta dan peralihan dari budaya “mandala” ke budaya yang lebih “realistis”, Lombard menulis, “Kontur – kontur jelas dari diagram mandala ideal itu sedikit demi sedikit menjadi kabur dan akhirnya diganti dengan garis-garis pantai dan sungai yang nyata sekali pun tidak simetris dan tidak pasti, serta merupakan syarat buat mengadakan perjalanan jauh yang sungguh-sungguh” (2008: 205). Pendapat Lombard ini pasti bersandar pada pemahamannya akan dunia mandala, dunia ideal dalam pandangan leluhur penduduk Nusantara , yang menurutnya, selalu disimbolkan sehingga memunculkan citra atau imej yang tidak simetris dan tidak realistis (misalnya citra manusia dalam wayang kulit).
Pelacakan terhadap peta kemudian bergulir ke abad ke-19. Pada tahun 1858, seorang controleur Belanda bernama K.H. Holle masih menemukan sebuah peta yang disebutnya sebagai “de ceila”, yang tersimpan di desa kecil bernama Sela di selatan Garut, Jawa Barat. Peta yang menggunakan aksara Sunda sebagai penandanya ini ditemukan bersama pusaka-pusaka lain. Peta “de ceila” ini digambar dengan tinta di atas kain katun. Holle masih sempat menyaksikan peta ini pada 1876 dan membuat salinannya yang diterbitkan pada tahun berikutnya. Kemudian dokumen tak ternilai itu hilang tanpa jejak. Ketika hendak diperlihatkan pada pameran tahun 1975 di Museum Baru Kota Jakarta, terpaksa dibuat sebuah kopi di atas katun putih berdasarkan salinan yang dibuat Holle.
Keluasan wilayah yang dipetakan kira-kira sama dengan keseluruhan Pasundan (Jawa Barat). Di utara disebut Cirebon dan “Nusa Klapa”, cikal bakal Batavia; di selatan, garis pantai selatan sampai “Segara Anakan”, dekat pelabuhan Cilacap sekarang. Di tengah – tengah peta salinan itu, suatu tempat yang agaknya terlalu besar disediakan untuk kerajaan kecil bernama Timbanganten yang telah dimasuki pengaruh Islam, dan mengenai wilayah kerajaan kecil tersebut rinciannya lebih banyak. Peta ini jelas dibuat sesuai dengan Kerajaan Timbanganten yang menguasai bagian barat/tengah Pasundan selama sebagian abad ke-16 itu. Berdasarkan pemeriksaannya, baik terhadap cap (dengan pedang ganda zulkifar) maupun terhadap keterangan-keterangan peta dan nama – nama tempat yang beraksara Sunda itu, Holle menganjurkan bahwa tahun pembuatan peta itu adalah 1560 M. Nama Timbanganten kemudian dapat ditemukan dalam karya sastra seperti Wawacan Babad Timbanganten yang ditulis setelah masa Islam. Ia berada di utara Kec. Balubur Limbangan, Garut.
Bagian peta salinan yang menggambarkan wilayah Jawa Barat pada abad ke-16, ditemukan di selatan Garut. Tampak arah utara terletak di bawah dan daerah Timbanganten, di mana peta aslinya dibuat dan diangap wilayah terpenting, dikitari segi panjang. Peta aslinya diperkirakan dibuat pada tahun 1560 M. Sekilas peta ini tampak seperti denah, namun jelas peta karena menggambarkan wilayah-wilayah yang berjauhan jaraknya. Cukup disayangkan pula gambar yang tersedia hanya sebagian, tidak utuh.
Sumber: Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian II, Jaringan Asia, hal 451.
Cukup disayangkan bahwa yang masih tersisa hanyalah salinan dari salinan peta asli, sedangkan peta aslinya sendiri raib entah kemana. Padahal, peta tersebut merupakan hasil budaya masyarakat agraris, bukan dibuat oleh masyarakat maritim seperti halnya peta-peta yang dilihat oleh Varthema dan Albuquerque pada abad yang kurang lebih sama.
Pada abad-abad selanjutnya ditemukan pula fakta bahwa para pelaut Bugis telah memiliki peta. Peta orang Bugis yang dipelajari oleh Le Roux dan Cense ini ternyata dibuat pada abad ke-18 dan diduga merupakan turunan dari peta-peta kuno buatan Eropa yang terdahulu. Namun, dalam hal ini kita bisa berpikir sebaliknya: mungkin juga yang dimiliki pelaut Bugis itu senyatanya adalah buatan nenek moyang Bugis sendiri yang “kebetulan” mirip dengan peta-peta buatan orang Eropa. Siapa tahu, pelaut Bugis—yang dikenal sebagai pelaut ulung di samudra—itu tak hanya mengandalkan bintang-bintang di langit dalam berlayar, tetapi juga berpedoman pada peta yang mereka buat sendiiri.
Dari temuan-temuan di atas tadi jelas bahwa bangsa Indonesia telah mampu membuat peta. Catatan Yuanshi mengatakan bahwa pada abad ke-13 telah ada peta yang dibuat oleh orang Jawa. Jika pada abad itu mereka telah mampu membuat peta, apakah bukan tidak mungkin pada abad-abad sebelumnya mereka telah mampu membuat peta serupa? Maka dari itu jangan heran bila tiga abad kemudian orang Portugis menyaksikan peta maritim (seperti yang dilihat oleh pelaut-pelaut Portugis di perairan Nusantara abad ke-16) maupun peta agraris (seperti peta yag dikemukakan Holle). Kesemunya itu  menunjukkan bahwa penduduk Nusantara telah mahir membuat peta sebagai acuan dalam navigasi kelautan dan sebagai arsip negara. Selain mengandalkan ilmu astronomi (tataletak bintang), para pelaut Nusantara memerlukan peta untuk menunjang aktivitas mereka dalam mengarungi bahtera samudra.
Kepustakaan
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian II, Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-Orient.
Tonyoke. 16 Juni 2009. “Ilmuwan Muslim Pencipta Peta Dunia Pertama”. Diunduh 1 November 2010. Tersedia [online] http://tonyoke.wordpress.com/category/dunia-islam/ilmuwan-muslim-pencipta-peta-dunia-pertama.
Wikipedia. “Herodotus”. Diunduh 1 November 2010. Tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Herodotus.
Wikipedia. “Claudius Ptolemaeus”. Diunduh 1 November 2010. Tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Claudius_Ptolemaeus.
Wikipedia. “Muhammad_al-Idrisi”. Diunduh 1 November 2010. Tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_al-Idrisi

Tinggalkan komentar